|
|
|
|
![]() |
Prasasti Kabantenan Tanggal 03 Jan 2019 oleh Roro . |
Prasasti Kabantenan di Bekasi : Pendidikan, Kenegarawanan dan Leadership
Janganlah kita lupakan demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat dan bukan berada di atas rakyat. [Bung Karno dalam Penyambung Lidah Rakyat, hlm. 69]
Melanjutkan tulisan ‘Gemah Ripah loh Jinawi’ : Kemakmuran Negara diukur dari jumlah penduduknya yang banyak.
Merupakan tantangan berat Tata Kelola perkotaan yang harus sudah sangat mumpuni, agar kota tersebut tidak berujung menjadi Kota ‘Tryanopolis’, yaitu kota yang banyak gejolak dan serba kekurangan sandang dan pangan.
Atau bahkan ‘Nekropolis’, kota yang menuju kehancuran karena terjadi peperangan.
Ternyata orang-orang tua Sunda seribuan tahun silam telah mengantisipasi itu dengan mengeluarkan perundang-undangan dan hukum ketat yang mengatur manusia dengan lingkungannya.
Diantaranya saja begitu ketatnya aturan RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah), dengan tujuan melestarikan sumber daya alam terkhusus mata air/hulu cai sebagai hutan larangan sekaligus mencegah bencana.
Juga banyak membangun Kabuyutan-kabuyutan dan Mandala sebagai makmal flora fauna sebagai tempat yang disucikan .
Sementara “Lurah Kawikuan”, adalah desa perdikan atau daerah yang dibebaspajakkan karena tempatnya para ulama, tempat peribadahan atau lokasi lembaga pendidikan agama, sehingga harus diistimewakan dan dijaga sebaik-baiknya. Tidak boleh terganggu dan dikurangi wilayahnya.
Dalam Carita Parahyangan, tercapainya kemakmuran negara, keamanan masyarakat, kejayaan Pemimpin selalu dikaitkan dengan sikap Pemimpin yang sangat memperhatikan kehidupan beragama, menjalankan kehidupan yang didasarkan pada aturan agama, dan menjalin hubungan baik dengan para tokoh agama.
Dalam lingkup pembinaan keluarga, Naskah Siskandang Karesian yang tahun penulisannya Nora Catur Sagara Wulan (tahun 1440 Saka atau 1518 M), berisi pendidikan keluarga berencana pada agar orang tua tidak mengawinkan anak-anaknya yang masih di bawah umur.
“Hanteu yogya mijodohkeun bocah, bisi kabawa salah, bisi kaparisedek nu ngajadikeun” (Tidak layak mengawinkan anak kecil, agar tidak terbawa salah, agar tidak merepotkan yang menjodohkan).
Pada masa Niskala Wastukancana, pendidikan sosial pun menjadi perhatian. Ia memperingatkan kepada rakyatnya yang gemar berjudi agar meninggalkan kebiasaan buruknya. Ini sesuai dengan bunyi Prasasti Kawali VI, yaitu:
“Ini peninggalan dari (yang) kokoh (dari) rasa yang ada, yang menghuni kota ini jangan berjudi (karena) bisa sengsara.”
Nilai Luhur Bangsa Indonesia
Warga Bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia mewarisi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam genetika morfologi kesejarahan dan biologisnya.
Terkhusus dalam dunia pendidikan agama dan ilmu pengetahuan, bangsa Indonesia bukan sekedar pengekor (epigon) dunia barat serta timur dalam pengelolaan pendidikan warga bangsanya.
Di Bekasi – Jawa Barat, sebelah timur dari Jakarta dengan gamblang telah ditemukan sebuah prasasti Kabantenan yang menggambarkan konsepsi pentingnya melindungi lokasi pendidikan agama di wilayah Tatar Sunda masa lalu.
Prinsip-prinsip kependidikan agama, kenegarawanan dan leadership ciri khas Indonesia yang kental muatan spiritualnya, tetapi sangat jelas juga mengandung teorema universalitas demokrasi masyarakat dunia hari ini.
Belajar dari Negara Lain
Sunda adalah budaya dinamis yang terbuka beriringan dengan waktu, ngigelan zaman’ tanpa harus kehilangan jejak jati diri.
Oleh karena itu, belajar dari bangsa negara lain adalah keniscayaan dan keharusan.
Sumber berita kronik dari negara Tiongkok mencatat kedatangan utusan Tarusbawa, Raja Sunda yang berkeraton di Cipakancilan – Bogor yang memberitahukan penobatannya kepada Raja Cina dalam tahun 669 M.
Sebelumnya, Dinasti Sui menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To-lo-mo (“Taruma”) yang terletak di sebelah selatan.
Juga berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 telah datang utusan dari To-lo-mo juga.
“Tuntutlah ilmu walau harus ke negeri Cina”, sebuah hadist yang popular. Sementara Hadist shahih menuliskan pentingnya belajar dengan kalimat “Carilah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat”.
Peradaban Ilmu Pengetahuan
Generasi warga bangsa Indonesia hari ini mengemban amanah, agar warga bangsa Indonesia selalu menjadi motor utama mengajak bangsa-bangsa dunia lainnya untuk mewujudkan perdamaian dunia, kemerdekaan abadi dan keadilan.
Simpul kekuatan itu berpusat pada dunia pendidikan yang setara dan sederajat.
Sementara pendidikan model kolonial yang berpola ‘Trichotomy’ maupun ‘dichotomy’, nyatanya telah menyurutkan langkah Indonesia menjadi warga bangsa yang berperadaban ilmu pengetahuan. Hanya segelintir orang dari kalangan tertentu yang bisa mengecap pendidikan tinggi.
Padahal pengakuan dunia terhadap keberadaan sebuah bangsa, selalu diuji dalam laboratorium gerak bandul sejarah bumi. Ujung-ujungnya akan berada pada ketajaman goresan Pena dan pisau bedah ilmu pengetahuan.
Belajar dari Sejarah Dunia
Bagi umat Islam tentu sangat paham, zaman keemasan Islam dibangun ketika ilmuwan berperan sekaligus sebagai ulama, atau sebaliknya ulama juga adalah sekaligus ilmuwan.
Sementara kesetaraan Islam sangat kentara ketika dalam ritual peribadatan dalam posisi shalat, yang menunjukkan derajat manusia yang sama di mata sang Khalik Allah swt.
Prasasti Kabantenan di Bekasi
Sunda sebagai daerah-daerah padat dan atau diperkirakan akan padat penduduknya, membutuhkan kepemimpinan yang memiliki keahlian manajerial. Oleh karena dalam beberapa catatan kuno menuliskan sistem pemerintahan dan profesi-profesi masa itu.
Salah satunya Prasasti Kabantenan.
Prasasti yang ditemukan oleh Raden Saleh di Kabantenan – Bekasi tahun 1867. Sekarang tersimpan di Museum Nasional, Jakarta. Terdiri dari lima lempengan tembaga tipis dengan aksara dan bahasa Sunda Kuna.
Ditulis atas titah Sri Baduga sendiri dalam rangka mengenang kakek dan ayahnya, Niskala Wastukancana dan Ningratkancana.
Sri Baduga dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran (1482-1521). Sedangkan dalam Prasasti Batutulis, sebagai penguasa Pakuan ia bergelar Ratu Haji.
“Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastukancana. Turun kepada Rahyang Ningratkancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran, harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan ada yang menghapuskan atau mengganggunya.”
Penduduk kedua dayeuh (kota) tersebut, Jayagiri dan Sunda Sembawa juga dibebaskan dari empat macam pajak
Dalam Kropak 630, Sri Baduga menetapkan batas-batas kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan”, yakni sebagai desa perdikan atau desa yang dibebaspajakkan.
Dayeuh Jayagiri dan Sunda Sembawa berlokasi di Bekasi sekarang, merupakan salah satu lingkungan panti/lembaga pendidikan (agama) yang banyak didirikan di wilayah Tatar Sunda.
Berdasarkan Prasasti Tugu, bahwa pada abad ke-4 Masehi, penghargaan terhadap tokoh-tokoh agama di Bhagasasi (Bekasi = Sunda sembawa) sungguh termasyhur dalam sejarah buku-buku sejarah.
Di Bhagasasi tercatat Purnawarman raja Tarumanegara (Tolomo) menghadiahkan1000 ekor sapi kepada kaum agama saat itu.
Prasasti Tugu ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.
Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km).
Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah daerah aliran Cisadane dan Ciliwung pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.
Menurut Carita Parahyangan, Prabu Dharmasiksa (1175–1297 Masehi) juga telah mendirikan panti pendidikan (agama) dan sejumlah kabuyutan.
Sebagai tempat pendidikan religius diberikan keistimewaan luar biasa, diantaranya perlindungan negara, dijadikan tempat suci yang tidak boleh diganggu, sangat dihormati dan dibebaskan dari pajak.
Selain Sunda Sembawa dan Jayagiri, terdapat Mandala/Kabuyutan di Galunggung (naskah kropak 632), Gunung Kumbang (naskah kropak 408), Kanekes, dan Denuh (Carita Parahyangan).
Selanjutnya Kabuyutan Sanghiyang Tapak di Sukabumi berdasar Prasasti Cicatih atau Prasasti Jayabupati. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya.
Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, dan sebuah lagi ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Nasional .
Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati Raja Sunda ke-20 bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah pada tahun 1030 -1042 M.
Kabuyutan Ciburuy – Bayongbong Garut, diketahui keberadaannya karena menyimpan tulisan pada abad ke-13 atau ke-14 yang memberitakan bahwa Rakeyan Banga telah membangun parit pertahanan di Pakuan.
Antara Trias Politica dan Tri Tangtu : Kenegerawanan dan Leadership Sunda Tradisional
Pada umumnya banyak entitas kekuasaan di berbagai kerajaan dunia berpusat pada tokoh utama, yaitu raja atau kaisar.
Setelah Revolusi Perancis terjadi tahun 1789–1799, maka munculah juga ide mendasar melakukan perubahan pada sistem kekuasaan yang tadinya hanya dimiliki seorang raja atau kaisar tadi, dibagi-bagi menjadi Trias Politica.
Trias Politica itulah yang kemudian menjadi panduan dalam membentuk negara demokratis modern seperti yang kita pahami sekarang ini.
Tri Tangtu : Leadership Sunda
Sesungguhnya bangsa Indonesia diwarisi sebuah naskah kuno manajemen kepemimpinan yang disebut Siskanda ng Karesian dan Kundangeun Urang Reya (untuk pegangan hidup orang banyak).
Naskah yang memuat model kenegarawanan dan kepempinan/leadeship kontemporer. Naskah ini ditulis 200 tahun sebelum Trias Politica dicetuskan.
Dalam naskah Siskandang Karesian, model kepemimpinan disebut menggunakan nama Tri Tangtu. Ada persamaan yang dekat antara istilah Trias dan Tri yang sama-sama berarti 3 (tiga).
Tritangtu di bumi (tiga posisi di dunia)
Dalam kehidupan masyarakat Sunda tradisional, ada tiga posisi yang menjadi tonggak kekuasaan, yaitu :
– Rama (pendiri kampung yang menjadi pemimpin masyarakat dan keturunannya yang mewarisi jabatan itu / DPD atau DPR / ”Legislatif” ),
– Resi (Ulama atau pemegang kekuasaan agama / hukum / ”Yudikatif” )
– Prabu (raja, pemegang kekuasaan / ”Eksekutif” )
Dalam naskah itu dianjurkan agar setiap pemimpin atau orang per orang berusaha memiliki:
– Bayu pinaka Prabu (Wibawa seorang Raja)
– Sabda pinaka Rama (Ucapan seorang Rama)
– Hedap pinaka Resi (Tekad seorang Ulama)
Tugas ketiga tokoh itu dalam kropak 632 ditegaskan:
“Jagat daranan di sang rama, Jagat kreta di sang resi, Jagat palangka di sang prabu”
(urusan bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka masyarakat, urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung jawab sang ulama, dan urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab raja/ pemegang kekuasaan).
Ketiga pemegang posisi itu sederajat karena “pada pawitannya, pada muliyana” (sama asal-usulnya, sama mulianya).
Oleh karena itu diantara ketiganya :
“haywa paala-ala palungguhan, haywa paala-ala pameunang, haywa paala-ala demakan.
Maka pada mulia ku ulah, ku sabda ku hedap si niti, si nityagata, si aum, si heueuh, si karungrungan,
ngalap kaswar, semu guyu, tejah ambek guru basa dina urang sakabeh, tuha kalawan anwam”
(jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah.
Maka berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan tekad yang bijaksana, yang masuk akal,
Yang benar, yang sungguh-sungguh, yang menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum,
Berseri di hati dan mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda).
Tritangtu sebagai sistem kepemimpinan tradisional itu masih dilaksanakan di Kanekes. Sementara dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dilestarikan pada perangkat Tripida (Tiga Pimpinan Daerah) di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga kelurahan.
Pemimpin yang Pandai Menerima Kritik
Dalam naskah kuno tersebut juga disebutkan tentang seorang pemimpin yang harus pandai menerima kritik.
Artinya, saat naskah ini dibuat sudah ada keberanian untuk melakukan kritik, protes rakyat Sunda kepada pemimpinnya yang menyimpang.
Sehingga dituliskan bab khusus menghadapi kritik ini, yang disebut : “Panca parisuda”
Panca parisuda mengandung arti Lima Obat Penawar. Ini kaitannya dengan sikap menerima Celaan atau Kritik. “Lamun aya nu meda urang, aku sapameda sakalih” (bila ada yang mengkritik kepada kita, terimalah kritik orang lain itu)
Dengan sikap seperti itu dikatakannya : “Kadyangga ning galah cedek tinugalan teka” (sama halnya dengan galah sodok dipapas runcing). Galah cedek / bambu runcing makin pendek makin baik, karena kemungkinan patah makin berkurang. Dengan kritik akal budi kita akan menjadi makin kukuh dan tajam.
“Lamun makasuka urang kangken pare beurat sangga” (kalau senang menerima kritik orang, kita akan seperti padi yang runduk karena berat berisi)
Negarawan dan Pemimpin yang Cerdas
Berabad-abad silam, bujangga dan pemimpin Sunda telah melahirkan naskah Motivasi Kenegarawanan beserta teknik manajemen. Sekaligus menegaskan karakter pemimpin ideal dalam memimpin.
Misalnya Parigeuing, yaitu “bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawanginya mana hanteu surah nu dipiwarang” (bisa memberi perintah, bisa menyuruh karena tutur bahasa yang manis, sehingga orang yang disuruh tidak merasa jengkel hatinya)
Untuk mampu ‘Parigeuing’ harus terlebih dahulu menguasai ketrampilan 10 Teknik Persuasi, disebut ‘Dasa Pasanta’, yaitu
bijaksana (Guna)
2. ramah (Rama)
3. sayang (Hook)
4. memikat (Pesok)
5. kasih (Asih)
6. iba hati (Karunya)
7. membujuk (Mupreruk)
8. memuji (Ngulas)
9. membesarkan hati (Nyecep)
10. mengambil hati (Ngala angen)
Tujuan dari hal di atas adalah :
“Nya mana suka bungah padang – caang nu dipiwarang” (agar senang dan penuh kegairahan orang yang disuruh). Motif utamanya adalah mengakui martabat dan harga diri seseorang.
sumber :https://megajakarta.wordpress.com/2016/04/13/prasasti-kabantenan-di-bekasi-pendidikan-kenegarawanan-dan-leadership/
![]() |
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
![]() |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
![]() |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
![]() |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |